Rabu, 18 Januari 2012

Tuhan hanya memberikan bidadari kepada pangeran

Akhir-akhir ini kita sering mendengarkan berita mengenai perselingkuhan. Kaum pria, kaum wanita, semua sama saja. Namun entah mengapa wanita lebih banyak dipersalahkan, apa karena dari segi jumlah mereka lebih banyak? bukankah 'kucing akan selalu memakan ikan yang diberi'? Mengapa menyalahkan si kucing, bukan si pemberi ikan itu?


Demi menghindari hal-hal buruk di kemudian hari, kita mengisi pikiran dengan segala ketakutan dan kekuatiran, kemudian kita membuat kriteria berdasarkan hal itu hanya agar kita tidak kecolongan di kemudian hari. Kita menghabiskan waktu menyalahkan dan mencari kekurangan orang lain untuk kemudian kita jadikan sebagai senjata untuk menyerangnya balik apabila orang tersebut menunjukkan gelagat 'mencurigakan'.

Setiap hari kita rajin beribadah, berdoa kepada Tuhan. namun sikap dan tindakan kita seringkali tidak mencerminkan kebaikan dan iman kita. Dengan mudah kita menghakimi, membenci, menjustifikasi seseorang itu 'jahat' atau 'punya potensi menjadi jahat' hanya karena orang tersebut mempunyai kekurangan yang KEBETULAN SAMA dengan orang yang kita benci. Apakah satu kekurangan menjadikan keseluruhan orang itu salah seluruhnya? Bukankah setiap orang memiliki kekurangan? Seberapa sempurnakah dirimu, sehingga merasa pantas dan layak untuk mengambil alih tugas Tuhan?

Orang-orang yang tidak ikhlas dalam hidupnya hanya akan mendapati dirinya ditipu. Karena kepercayaan seseorang akan sangat mempengaruhi perlakuan seseorang terhadap dirinya. Mereka hidup dalam ketakutan dan kebencian, sehingga apabila seseorang mengecewakan mereka, dengan mudah mereka akan membenci orang tersebut. Mereka jauh lebih banyak kehilangan orang-orang dalam hidup mereka. Tidak ada yang sempurna di dunia ini, karena Tuhan membuatnya demikian. Namun kita menganggap rendah mereka.

Memang benar adanya Tuhan hanya memberikan bidadari kepada pangeran, karena sempurnanya mereka di mata-Nya. Tuhan membuat seseorang menjadi bidadari, atau pangeran sebab mereka pantas untuk itu. Ketulusan hati, kerendahan hati, dan selalu bersyukur lah yang membuat mereka dianugerahi gelar tersebut.


Tuhan tidak mendengarkan doa orang beriman yang dengan gagah berkata, 'Tuhan, aku mematuhi semua perintah-Mu.'. Ia lebih mendengarkan doa orang berdosa yang menyesal dan berkata,"Tuhan, ampunilah aku orang berdosa ini.". Orang berdosa ini pulang dengan hati lapang dan lega, sedangkan orang beriman ini akan semakin sombong.

Kebahagiaan hanya milik orang-orang yang rendah hati.

Kamis, 05 Januari 2012

Cinta itu bukanlah menjadikan dia seperti yang kamu mau
menjadikan dia seperti yang pernah hilang di dalam hidupmu
mengubahnya agar engkau bisa mencintainya
membuatnya jadi orang lain yang bukan dirinya



Jika kamu mengubahnya menjadi yang engkau mau, maka yang engkau dapat hanyalah kepalsuan. Setulus apapun kalian berdua saling mencintai, tetaplah itu semua semu. Sampai akhirnya kau sadar semua itu sia-sia, kamu sudah kehilangan banyak hal berharga dalam hidupmu. Akan kau habiskan hidupmu dengan meratapi kegagalan di masa lalu, melampiaskan semua itu kepada orang yang kau minta untuk menjadi penggantinya di masa itu. 
Mencari pengganti cinta yang hilang tidak akan membuatmu lebih baik. Ia hanya akan membuatmu berjalan di tempat. Saat kau menemui kekurangan seperti masa lalumu, maka kamu akan melampiaskan kekesalanmu kepada cinta yang ada di depanmu.
Sungguh, cinta tidak ingin diperlakukan seperti itu. Semakin kau menggenggamnya erat, dia akan mati. Terlalu longgar genggamanmu, ia akan terbang. Jika kau mengerti cinta, maka kau akan tahu bagaimana cara membuatnya percaya padamu.
Apalah artinya mencintai seseorang, bila dia bukan dirinya sendiri?
Apalah sebuah kasih, bila engkau bersyarat?
Apakah itu ketulusan, jika engkau membangun pagar lebih dahulu sebelum membangun rumah?
Bagaimanakah rasa sayang tumbuh, bila engkau menanamnya di tempat tersembunyi?
Masa lalu hanyalah bayangan. Masa depan adalah khayalan. Masa kini adalah pekerjaan.
Cinta bukanlah mengenai seberapa sempurnanya seseorang untuk bisa dicintai, namun bagaimana engkau bisa mencintai dan membuatnya sempurna dengan kekurangan yang ada pada masing-masing.
Pantaskanlah dirimu untuk menerima cinta dan kebaikan yang tulus, sebab Tuhan hanya memberikan cinta untuk orang-orang yang layak menerima anugerah itu. Orang-orang yang bersedia untuk mengambil resiko, mempertaruhkan hatinya untuk Tuhan akan mendapatkan kemurahan dan berkat yang lebih besar dari Tuhan karena dia percaya akan kebaikan.



Rasa trauma adalah bukti bahwa kita memang rapuh. Karena itulah jangan mengeraskan hatimu, untuk dipantaskan Tuhan menerima kebaikan-kebaikan yang sudah disiapkan-Nya. Itu sebabnya pasangan yang mencintai dengan tulus lebih bisa menikmati setiap jengkal dari kehidupannya. Mampu mengatasi segala perbedaan, bisa melampaui semua cobaan, berhasil dalam menyelesaikan tantangan dalam hidup yang diberikan oleh Tuhan untuk diselesaikan.
Orang yang berbahagia bukanlah orang yang menjalani hidup dengan sesempurna mungkin, tetapi mempersiapkan diri untuk menghadapi yang ada di depannya. Apapun itu. 
Jangan mengawali cinta dengan rasa curiga, sehingga kita malah membuat benteng terlebih dahulu daripada membangun sebuah cinta yang indah, yang dibangun bersama di atas dasar yang kokoh yaitu kepercayaan itu sendiri. 
Janganlah mudah menyalahkan diri sendiri, apalagi orang lain saat kita pernah gagal. Hal itu hanya akan membuatmu menghukum diri sendiri, membuat dirimu menjadi tidak pantas untuk mendapatkan cinta yang sebenarnya.
Cinta tidak pernah benar, namun ia takkan salah.
Berbahagialah bagi yang pernah mengalaminya, ikhlaslah bila ia harus pergi. Jangan biarkan beban itu menjadi standar bagimu untuk menyeleksi cinta yang pantas untukmu. Cintalah yang akan menyeleksimu, sebab cinta adalah anugerah Tuhan. 
Jika cintamu yang bersyarat itu, telah engkau dapatkan..apabila dia melakukan kesalahan, 
apakah engkau masih mencintainya?
apakah engkau memaafkannya bila melakukan kesalahan?
apakah engkau akan langsung mendepaknya dari hatimu, sebab ia sudah tidak memenuhi syarat?
apakah engkau akan menghukumnya, agar dia tidak mengulanginya lagi?
apakah engkau akan tetap mencintainya dengan hati-hati?
Jawabannya hanya ada di dalam hatimu sendiri. Engkaulah yang paling tahu cinta seperti apakah yang pantas untuk hatimu, dan seberapa besar engkau menghargai cintamu, itu jugalah yang akan engkau dapatkan darinya.
Sebab Tuhan meletakkan kebahagiaan di bawah kaki orang-orang bodoh, yang bersedia menerima sesuatu dari-Nya tanpa syarat. Dan mengusahakannya agar ia bisa tumbuh dengan layak, memiliki akar yang kuat, sekalipun ia tumbuh di tanah berbatu, dan menghasilkan buah-buah yang berlimpah dan bagus.
Cinta itu indah...dan belajarlah mencintai dengan tulus.

Rabu, 04 Januari 2012

Misteri Tsunami Aceh, apakah hasil konspirasi ataukah bencana alam?



     saya mendapat sebuah file mengenai teori terjadinya tsunami di Aceh  tahun lalu, tolong dipikirkan apakah teori yang dikemukakan itu bisa jadi benar atau salah total apakah mungkin kita bisa membuat tsunami dari sebuah bom nuklir? masalahnya sebagaimana kita ketahui bersama terumbu  karang di perairan hindia hancur total, bukankah terlalu aneh apabila ini hanya akibat gerakan tektonik atau gelombang laut. Juga banyaknya tubuh yang berwarna kehitaman karena terbakar atau baju korban yang terkelupas, bisakah ini menjadi bukti untuk memperkuat teori ini?
     Tentang gempa Aceh, ada sebuah tulisan tapi tak pernah dipublikasikan, lama ngendon di disket. Baru sekali saja diposting, utk seseorang, itu pun versi yang benar2 diekstrak. Ya maklum saja, saya bukan fisikawan, bukan pula geolog, bukan juga seismolog. Cuman sedang belajar, dan rada suka ngumpul2in dan baca2 tulisan2 orang. Ketika semuanya coba dirangkum, jadinya malah panjaang bgt...mau ngedit malah jadi susah juga.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------- 
Tentang gempa 26 Desember 2004

1. Teori Konspirasi Vialls

Artikel " Did New York Orchestrate Asian Tsunami ?" itu ditulis oleh Joe Vialls pada Februari 2005 (lihat di http://www.vialls.com/). Vialls menyebut dirinya seorang analis independen dan telah berpengalaman selama lebih dari tigapuluh tahun di dunia intelejen. Kini ia tinggal di Australia.
Sedikit catatan, nama Joe Vialls pernah sangat populer di Indonesia pasca ledakan hebat di Bali (12 Oktober 2002). Ketika itu ia menggemparkan banyak pihak dengan teori konspirasi-nya tentang penyebab ledakan itu, yang disebutnya sebagai aksi konspirasi AS-Israel lewat peledakan SADM (Small Atomic Demolition Munition) alias mikronuklir. Hingga kini masih banyak yang percaya apa yang terjadi di Bali saat itu merupakan ledakan mikronuklir, meski banyak lembaga - termasuk MUI yang menerjunkan penelitinya ke sana - memastikan tidak ada bekas-bekas ledakan nuklir di Bali.

Singkatnya, Vialls menyebutkan bahwa gempa dahsyat 26 Desember 2004 disusul tsunami besar yang meluluhlantakkan 11 negara di pesisir Samudera Hindia hingga menewaskan sedikitnya seperempat juta jiwa manusia bukanlah peristiwa alam biasa, namun ada peran campur tangan manusia. Vialls mendasarkan teorinya dokumen rahasia OSS (embrio CIA) tentang pengunaan bahan peledak untuk memicu gempa bumi di Kep. Jepang dalam Perang Dunia 2 dan fakta-fakta berikut :

a. perbedaan magnitude gempa antara versi BMG (Indonesia) dan India dengan versi USGS (AS),dimana menurut BMG 'hanya' 6,8 skala Richter, sementara menurut USGS 9,3 skala Richter.

b. perbedaan hiposentrum gempa, versi BMG berada di selatan Meulaboh (atau sebelah utara P. Simeulue), sementara versi USGS di sebelah barat P. Weh.

c. pola gelombang gempa pada seismogram stasiun BMG Padang menunjukkan kemiripan dengan pola gelombang gempa produk ledakan nuklir bawah tanah di medan percobaan Gurun Nevada 4 dekade silam.

d. tiadanya korban manusia di P. Diego Garcia, pangkalan militer AS-Inggris yang ada di tengah2 Samudera Hindia, sebelah selatan Jazirah Arabia, padahal di sepanjang pesisir Afrika yang letaknya lebih jauh justru muncul korban manusia.

e. adanya pergerakan kapal induk USS Abraham Lincoln (sebagai representasi militer AS) di perairan barat Sumatera dengan mengangkut sejumlah pasukan siap tempur yang tidak dilaporkan.

f. adanya pergerakan militer Australia yang telah mengambil posisi di semenanjung Malaya hanya beberapa saat setelah gempa terjadi.

g. sejumlah jenazah korban tsunami nampak menghitam seperti hangus, mengesankan seperti terkena radiasi panas.

h. dalam gempa Nias 28 Maret 2005, meski magnitudenya hampir sama (8,7 SR) namun tidak muncul tsunami

Vialls berteori bahwa gempa dahsyat itu adalah hasil perbuatan tangan2 kotor AS-Israel-Australia yang diwujudkan dalam peledakan bom termonuklir 9 megaton di dasar Samudera Hindia. Bom itu dikirimkan ke sasaran dengan pesawat tempur yang bertolak dari pangkalan rahasia di Kepulauan Andaman. Titik tempat peledakan bom dipilih sedemikian rupa sehingga tepat berada di triple junction (titik persinggungan 3 lempeng tektonik) antara Lempeng India, lempeng Eurasia dan mikrolempeng Burma yang berada di antara P. Simeulue dan P. Nias. Secara geologis triple junction memang merupakan kawasan yang rapuh.

Ledakan itu menghasilkan gempa bumi dan meruntuhkan dasar laut disekelilingnya, hingga muncullah gelombang pasang (tsunami) besar. Ledakan itu juga menjadi pemicu (trigger) ketidakstabilan kawasan triple junction hingga  terjadilah patahan2 baru yang berujung pada munculnya gempa2 tektonik.
     Sekilas, teori konspirasi ini sangat menarik, apalagi jika dibuat filmnya, seperti kebiasaan para sineas Hollywood. Namun teori ini juga mengandung banyak kelemahan mendasar.

 
2. Magnitude Gempa

 
Vialls tidak membedakan definisi magnitude gempa, yang penting terdapat perbedaan mencolok antara magnitude versi BMG (6,8) dengan versi USGS (9,3).
Pada saat ini ada beberapa macam magnitude yang sering digunakan untuk mendeskripsikan kekuatan gempa, yakni surface magnitude (Ms), local magnitude (ML), body-wave magnitude (Mb), moment magnitude (Mw), energy magnitude (Me) dan duration magnitude (Md). Namun hanya dua yang sering digunakan, yakni Mb dan Mw.
Body-wave magnitude (Mb) adalah kekuatan gempa yang didasarkan pada profil gelombang P/primer (gelombang longitudinal, kecepatan = 5 km/detik) yang terekam dalam seismogram. Magnitude ini murni berdasar pada analisis pola gelombang pada frekuensi 1 Hertz dan bersatuan skala Richter (SR). Magnitude ini bisa digunakan pada tiap jenis gempa.
Sementara moment magnitude (Mw), pertama kali diperkenalkan Tom Hanks (seismolog, bukan aktor :) ) dan Hiroo Kanamori pada 1979 di Caltech, dengan tujuan untuk membandingkan energi yang terlepaskan dari gempa. Magnitude ini terkait dengan luas zona patahan (fault) atau zona retakan (rupture) yang menjadi sumber gempa dan besarnya pergeseran (slip) dalam zona tersebut. Magnitude ini tidak bersatuan, namun di Indonesia biasa dikenakan "satuan" skala magnitudo (SM) kepadanya. Karena berkait dengan terbentuknya patahan/rupture, magnitude ini hanya digunakan untuk mendeskripsikan gempa tektonik.
Kelebihan moment magnitude dibanding magnitude jenis lainnya adalah tidak adanya saturasi untuk nilai2 yang besar, sehingga setiap gempa besar selalu menghasilkan moment magnitude yang berbeda.
Secara matematis, hubungan antara moment magnitude dengan luas patahan (A) dan besarnya pergeseran (h) dinyatakan dalam :

Mw = 0,67(log Mo - 16,1)  (1)

dengan Mo = uAh
dimana u = rigiditas batuan (sebesar 300Gigadyne/cm2) dengan satuan A dan h masing2 cm2 dan cm.
Mari kita lihat apa yang terjadi pada 26 Desember 2004 silam. Awalnya Hendra Suwarta dari BMG Medan menyebut gempa itu berkekuatan 6,8 SR dengan hiposentrum 2,9deg LU 95,6deg BT pada kedalaman 20 km (lihat Kompas, 27/12/2004 hal 1). Beberapa hari kemudian, lewat situs resminya (http://www.bmg.go.id/) kepala BMG menyebutkan telah dilakukan reanalisis terhadap data2 seismogram dan didapatkan bahwa gempa itu memiliki Mb = 6,8 SR dan Mw = 8,7 SM. Sementara data dari USGS menyebutkan Mb = 6,4 SR dan Mw = 9,0 dengan hiposentrum pada 3,3deg LU 95,8deg BT pada kedalaman 10 km. Jadi data kedua lembaga itu tidak jauh berbeda.
 
3. Panjang Patahan/Rupture


Adanya moment magnitude pada gempa 26 Desember 2004 itu jelas menunjukkan bahwa gempa itu adalah gempa tektonik.  Secara empirik, Ambrosey dan Zatopak (1968) telah memformulasikan hubungan antara magnitude gempa (M) dengan panjang patahan/rupture (L, dalam satuan km) :

log L = 1,13M - 6,4 (2)

Dengan M = 9,0 didapatkan L = 5.900 km ! Namun analisis seismogram dan pola distribusi hiposentrum gempa2 susulan - dari 3deg LU (sebelah barat P. Sumatra) hingga 14deg LU (Kepulauan Andaman) - menunjukkan panjang patahan/rupture yang terbentuk sekitar 1.200 km (lihat Carayannis; 2005; The Great Earthquake and Tsunami of 26 December 2004 in South East Asia and the Indian Ocean; Special Reports, http://www.drgeorgepc.com/).
Survey dasar laut dengan kapal riset Natsushima pada Februari - Maret 2005 di sepanjang lokasi yang diduga menjadi zona patahan/rupture menunjukkan tidak ditemukan adanya patahan. Namun dijumpai rupture sepanjang 1300 km dengan lebar 200 km. Di rupture ini telah terjadi pergeseran sebesar 15 m (rata2, pergeseran maksimal 20 m). Pergeseran ini telah menyebabkan terjadinya pengangkatan vertikal dasar laut setinggi 10 m (rata2, pengangkatan maksimal 13 m) dengan lebar daerah yang betul2 terangkat vertikal mencapai 70 km (lihat Kompas, 26/07/2005).
Lewat persamaan (1), kita mendapatkan Mo = 1,17 . 1030 dyne cm dan Mw = 9,3 atau sedikit lebih besar dari versi BMG maupun USGS sebelumnya. Ini sesuai dengan hasil penyelidikan ilmuwan Northwestern University, AS (Carayannis, 2005; Ibid).
 

4. Energi Gempa

Magnitude sebuah gempa berhubungan dengan energi yang terlepaskan dari gempa tersebut. Secara umum hubungan antara magnitude gempa (M) dan energi gempa (Ee, dalam satuan erg), dinyatakan oleh :
log Ee = 1,5M + 11,8 (3)

Carayannis (1985) telah mendapatkan hubungan antara panjang patahan/rupture (L, dalam satuan km) dengan Ee secara empirik, yang dinyatakan sebagai :

log Ee = log L + 22,53 (4)
Namun, khusus untuk moment magnitude, besarnya energi gempa diekspresikan dalam :
Ee = Mo/62500  (5)
Dengan menggunakan data Mo dari riset Natsushima, kita mendapatkan Ee = 1,872 . 10^25 erg atau 450 megaton TNT. Sementara dengan data panjang rupture dari riset Natsushima, kita mendapatkan Ee = 4,405 . 10^25 erg atau 1050 megaton TNT. Sebagai pembanding, Hiroshima luluh lantak oleh bom berenergi 'hanya' 20 kiloton saja.
Kita logikakan saja, sanggupkah bom termonuklir dengan energi 9 megaton menciptakan gempa besar dengan energi 450 - 1050 megaton alias 50 - 117 kali lipat lebih besar dari energi bom itu sendiri? Itu tidak masuk akal ! Bahkan energi bom termonuklir terbesar yang pernah diledakkan dalam sejarah, Tsar Bomba (King of the Bomb) produk Uni Soviet di era 1960-an yang berkekuatan 50 megaton itu masih kalah jauh dibanding energi gempa 26 Desember 2004 !
 

5. Ledakan Nuklir dan Gempa Bumi

 
 
Titik berat teori Vialls terletak pada kemampuan ledakan nuklir untuk memicu (trigger) aktivitas guncangan tanah atau gempa bumi. Ledakan nuklir, khususnya dengan titik ledak di permukaan dan di bawah permukaan tanah, memang bisa memproduksi gempa bumi dengan pola gelombang yang khas, yakni dilational. Pada gempa bumi tektonik, gelombang yang terbentuk berpola deviatoris (menurut USGS FAQ) dan seringkali didahului dengan pola compresional. perbedaan pola compresional dan dilational

           /\
          /  \         /
   _ _/_ _ \ _ _/_ _ _ _
                  \  /
                   \/

             ===>    <===

pola compresional dalam seismogram, gelombang awal bergerak ke atas, dengan arah gerakan tanah (panah bawah) saling menekan (kompresi)


                       /\
   _ _ _ _ _ _ / _\_ _ _ _
             \    /        \
              \  /          \
               \/

             <===    ===>

pola dilational dalam seismogram, gelombang awal bergerak ke bawah, dengan arah gerakan tanah (panah bawah) saling menjauh (meregang)
Gempa bumi dalam ledakan nuklir sebenarnya merupakan wujud konversi energi ledakan menjadi energi gempa. Secara matematis energi gempa (Ee) berkait dengan energi ledakan (E) lewat :

Ee = kE

dengan k sebuah faktor konversi, yang dalam praktiknya k berharga 0,00001 s/d 0,001 (untuk ledakan di permukaan tanah) dan 0,001 s/d 0,1 (untuk ledakan di bawah permukaan tanah). Dengan memodifikasi persamaan log Ee = 1,5M + 11,8 didapatkan :

1,5Mb = log W + 7,82 + log k  (6)

Dengan Mb = body-wave magnitude (satuan skala Richter) dan W = energi ledakan (satuan kiloton TNT).

Atomic Energy Commission (AEC) - lanjutan dari Manhattan Project-nya Jend. Leslie R. Grooves dan fisikawan Johann Robert Oppenheimer – telah melaksanakan serangkaian eksperimen detonasi senjata nuklir dengan titik ledak pada permukaan dan di bawah permukaan tanah selama era 1950 - 1960-an. Eksperimen itu berlangsung di Gurun Nevada, berdekatan dengan pangkalan AU Nellis, Utah. Daerah ini secara geologis tergolong aktif, karena berdekatan dengan zona subduksi lempeng Juan de Fuca dengan lempeng Amerika Utara, yang salah satu efeknya membentuk panorama mengagumkan di Grand Canyon dan sekitarnya.
Eksperimen AEC di Nevada yang paling terkenal adalah detonasi bom " Sedan " (6 Juli 1962) dengan energi 104 kiloton TNT pada kedalaman 194 m. " Sedan " membentuk cekungan (kawah) besar berbentuk mangkuk berdiameter 390 m dengan kedalaman 98 m yang menghamburkan 10,9 juta ton aluvial berkadar air 12 %. Bersama ledakan ini terdeteksi pula perambatan gelombang gempa bumi khas dengan Mb = 4,75 SR (k = 0,002).
Namun peristiwa paling menghebohkan terjadi pada 19 Januari 1968, ketika AEC meledakkan bom termonuklir " Faultless " dengan energi 1 megaton dalam sebuah eksperimen bawah tanah. Secara bersamaan dalam beberapa kilometer dari titik ledakan terbentuk rupture sepanjang 1200 m yang nampak jelas di permukaan tanah. Seismograf di lokasi ujicoba pun merekam adanya getaran gelombang gempa berpola deviatoris bersamaan dengan gelombang gempa berpola dilational (produk ledakan). Namun gempa tektonik itu dipastikan lebih lemah dibanding gempa produk ledakan.
Analisis awal menunjukkan adanya 70 - 80 % gelombang berpola dilational dan sisanya berpola deviatoris, menunjukkan dominannya pengaruh ledakan terhadap guncangan tanah.
Meski semula diduga ledakan " Faultless "-lah penyebab gempa tektonik itu, namun analisis AEC menunjukkan bahwa kedua peristiwa itu berdiri sendiri2 dan tidak saling terkait, hanya saja terjadi pada saat yang bersamaan. Analisis komprehensif sepanjang 1965 – 1968 mengenai pengaruh eksperimen2 detonasi bawah permukaan dan gempa2 tektonik di Amerika barat (terutama dengan magnitude > 3,5 SR) memperkuat kesimpulan AEC, bahwa ledakan nuklir bawah permukaan tidaklah sanggup menciptakan sebuah gempa tektonik.
Kesimpulan AEC diperkuat lagi dengan hasil eksperimen termonuklir bawah permukaan " Cannikin " (6 November 1971) di P. Amchitka, sebuah pula dalam gugus Kep. Aleut (Alaska). Secara geologis lokasi ini tergolong takstabil dan terhimpit di antara dua tempat yang pernah menjadi lokasi gempa dahsyat, yakni semenanjung Kamchatka di sebelah barat (gempa 1737 dengan Mw = 9,3 dan gempa 1952 dengan Mw = 9,0) serta semenanjung Alaska di sebelah timur (gempa Good Friday 1964 dengan Mw = 9,2).
Hingga kini pun para seismolog meyakini gugusan Kep. Aleut secara geologi berada dalam kondisi " locked " (terkunci) dan akan menjadi lokasi berlangsungnya gempa besar periode berikutnya (setelah gempa 26 Desember 2004). " Cannikin " melepaskan energi 5 megaton dan menimbulkan guncangan gempa bumi dengan Mb = 6,9 SR (k = 0,068). Namun guncangan kuat ini ternyata tidak diikuti oleh munculnya gempa tektonik maupun gempa2 susulannya, apalagi gempa dahsyat.
Bisa saja kita mengatakan, semua data di atas dibuat oleh AEC/Pentagon dan sangat berbau " Amerika " dan tentu sudah " dibersihkan " agar hasilnya nampak baik2 saja, sementara data2 yang mengkhawatirkan sudah masuk ke file " classified ". Namun data soal eksperimen bawah permukaan tanah ternyata tidak hanya dipunyai Amerika saja. India dan Pakistan pun memilikinya.


India melaksanakan eksperimen detonasi bawah permukaan pertamanya pada 18 Mei 1974 di bawah pemerintahan Indira Gandhi, dengan meledakkan bom plutonium " Smiling Budha " (kini disebut Pokhran-1) pada kedalaman 107 m dengan energi 6 kiloton di Gurun Thar, Rajasthan. Ledakan menghasilkan gempa bumi dengan Mb = 4,9 SR (k = 0,056). Eksperimen kedua dilakukan pada 11 Mei 1998 dengan meledakkan bom termonuklir " Pokhran-2 " berenergi 43 kiloton, menghasilkan gempa bumi dengan Mb = 5,2 SR (k = 0,022). Sementara Pakistan menyusul pada 28 Mei 1998 dengan meledakkan bom " Chagai-1 " (10 kiloton) di Pegunungan Baluchistan yang mengguncangkan tanah dengan Mb = 4,9 SR (k = 0,034). Gurun Thar dan Peg. Baluchistan berada saling berdekatan (terpisah 1000-an km) dan berada di daerah yang secara geologis takstabil karena berdekatan dengan triple junction lempeng Arabia, lempeng India dan lempeng Eurasia (di muara Sungai Indus). Namun tak ada gempa tektonik yang terjadi akibat eksperimen2 tersebut, seperti yang dilaporkan USGS dan PIDC (embrio badan PBB yang mengurusi masalah larangan eksperimen senjata nuklir/CTBT) (lihat Wallace; 1998; The May 1998 India and Pakistan Nuclear Tests; Seismic Research Letters vol 69 page 386 - 393).

Eksperimen kedua Pakistan, " Chagai-2 " (6 kiloton) dilakukan pada 30 Mei 1998 yang menghasilkan guncangan dengan Mb = 4,7 SR (k = 0,028). Eksperimen ini sempat membingungkan para ilmuwan karena setengah jam sebelumnya meletup gempa kuat di Afghanistan dengan Ms = 6,9 SR sehingga akurasi pantauannya tidaklah setinggi " Chagai-1 ". Namun eksperimen ini makin meyakinkan kesimpulan sebelumnya bahwa sebuah ledakan nuklir (bawah permukaan sekalipun) takkan sanggup menciptakan gempa tektonik.
Dari uraian di atas, kita mendapatkan gambaran bahwa apa yang diteorikan Vialls berlawanan dengan data2 hasil eksperimen ledakan nuklir bawah permukaan yang pernah ada. Data seismogram yang ditampilkan Vialls dalam situsnya (http://www.vialls.com/), yang disebutnya direkam oleh stasiun seismograf  Padang, juga tidak menunjukkan pola dilational. Berkait dengan dokumen rahasia OSS (kini CIA), harus diingat bahwa dokumen itu dibuat pada dekade 1940-an, sementara teori tektonik lempeng, yang bisa menjelaskan asal usul dan dinamika gempa tektonik, baru muncul pada tahun 1960-an. 
  

 
6. Tectonic Setting
 

Vialls memang benar, di antara P. Nias dan P. Simeulue terdapat triple junction lempeng India, lempeng Eurasia (Sunda) dan mikrolempeng Burma. Mengenai tectonic setting untuk P. Sumatra dan sekitarnya, ada artikel sangat menarik dari geolog Awang Satyana (di mailing list-nya Unpad, diposting pada 25/04/2004 dan 05/01/2005), Carayannis (2005) serta geoseismolog Danny Hilman (2005).
Awalnya, Sumatra dan Jawa merupakan satu pulau besar yang menjadi margin lempeng Eurasia. Oleh desakan lempeng Australia (di Jawa dan sebagian Sumatra) serta lempeng India (di ujung Sumatra), pulau besar ini "robek" bagian tengahnya dan terbukalah Selat Sunda yang bentuknya mirip segitiga dan makin melebar ke arah selatan. 



 Selanjutnya Jawa dan Sumatra terotasi dengan arah berbeda. Jawa mengalami rotasi berlawanan arah dengan jarum jam (sehingga posisi Jawa Timur dulunya lebih ke selatan dari sekarang) akibat subduksi tegak lurus (frontal) lempeng Australia yang bergerak dengan kecepatan 20 mm/tahun ke utara. Sedangkan Sumatra terotasikan searah dengan jarum jam oleh subduksi miring lempeng Australia (kecepatan 52 - 60 mm/tahun, lebih tinggi dibanding di Jawa) dan India (kecepatan 61 mm/tahun) ke timur laut. Dan berbeda dengan di Jawa yang stabil, di Sumatra lempeng Eurasia bergerak ke barat daya (dengan kecepatan 10 – 27 mm/tahun) untuk mengimbangi desakan kedua lempeng " lawannya ".
Akibatnya bisa dibayangkan, desak mendesak antar lempeng ini, ditambah subduksi miring, membuat daratan Sumatra terbelah. Muncul retakan besar yang membelah pulau itu secara asimetrik, mulai dari Selat Sunda hingga ke P. Sabang. Itulah patahan besar Sumatra (sesar Semangko), yang menjadi dasar berdirinya gunung2 berapi Sumatra. Patahan sejenis, yang paralel dengan panjang hampir sama, muncul pula di dasar laut antara Sumatra dengan pulau2 kecil di sebelah baratnya. Itulah patahan Mentawai, yang menjadi populer saat meletup gempa kuat Bengkulu (2000). Bersama palung Sunda (zona subduksi) di sebelah barat, patahan Mentawai menjadi pembatas yang memisahkan 7 segmen pulau2 kecil itu (mulai Enggano di selatan hingga Nias di utara) terhadap daratan Sumatra.
Situasi yang lebih kompleks muncul di ujung utara Sumatra hingga Kep. Andaman. Disini terdapat dua segmen : Simeulue dan Andaman. Di antara Simeulue dan Nias memang terdapat sebuah triple junction (seperti yang dimaksud Vialls), dimana melintang patahan Pre-Batee dari zona subduksi menuju dataran tinggi Gayo-Alas untuk bertemu dengan patahan besar Sumatra. Patahan Pre-Batee bersifat divergen dan kelak diyakini akan semakin melebar hingga terbentuk lembah memanjang yang besar seperti Laut Merah, dengan punggungan pemekaran samudera (mid oceanic ridge) di tengah2nya. Patahan Pre-Batee inilah yang membuat provinsi NAD terbelah menjadi dua, sebelah barat (bersama Kep. Andaman dan Nicobar) merupakan bagian mikrolempeng Burma, sementara sebelah timur tetap menjadi bagian lempeng Sunda. Adanya mikrolempeng Burma juga membuat posisi zona subduksi lebih menjorok ke lautan terhadap daratan Sumatra (berpola konvex ke arah samudera), dibandingkan zona subduksi yang ada di segmen Nias - Enggano. Inilah prisma akresi Sumatra.
Berbeda dengan segmen Nias - Enggano, tumbukan lempeng India dan mikrolempeng Burma di segmen Simeulue tidak berbentuk zona subduksi (palung laut), melainkan saling berhadapan/bergesekan (orthogonal, hampir frontal) membentuk patahan. Kondisi hampir mirip muncul di segmen Andaman, dimana interaksi kedua lempeng membentuk patahan kompresif (thrust). Secara sederhana bisa dikatakan, di kedua segmen ini, kedua lempeng berada dalam posisi " terkunci " (locked), berbeda bila ada zona subduksi " normal ", dimana sebuah lempeng yang menyusup di bawah lempeng lainnya bisa terus bergerak leluasa tanpa banyak hambatan. Pada segmen Simeulue pula patahan Mentawai berakhir.
Menurut Danny Hilman N (2004), segmen yang " terkunci " bukanlah monopoli Simeulue dan Andaman semata, namun juga menghinggapi semua segmen di barat Sumatra. Kep. Mentawai misalnya, karena segmennya " terkunci ", ia bergerak mendekati daratan Sumatra dengan kecepatan 30 - 50 mm/tahun ke arah utara-timur. Desakan lempeng Australia membuat lempeng Sunda tempat berdirinya Kep. Mentawai mengalami pemendekan (shortening) dan sekaligus penggelembungan, sehingga pantai barat Sumatra terangkat sementara Kep. Mentawai mengalami penurunan ketinggian 1 - 6 mm/tahun (lihat Kompas, 10/01/2005). Begitu batas daya tahan lempeng Eurasia tercapai, yang memunculkan letupan energi ke permukaan Bumi sebagai gempa Bengkulu (2000), terjadi proses pemanjangan kembali (extension) lempeng Sunda disertai kenaikan (uplift) P. Nias dan penurunan (subsidence) pantai barat Sumatra. Pemanjangan ini membuat Kep. Mentawai kembali menjauhi daratan Sumatra dengan tambahan jarak 15 cm. Analisis mikroatol di sekitar pulau2 kecil itu menunjukkan terjadinya gempa2 kuat dan besar dengan mekanisme yang sama telah terjadi pada tahun 1797 (Kep. Mentawai, Mw = 8,4), 1833 (Kep. Mentawai, Mw = 8,7), 1843 (P. Nias, Mw tidak diketahui), 1861 (P. Nias, Mw = 8,5), 1881 (Kep. Andaman, Mw = 7,9), 1941 (Kep. Andaman, Mw = 7,7) dan 2002 (P. Simeulue, Mw > 7). Ilustrasi menarik soal pemendekan dan pemanjangan lempeng yang tertekan di zona subduksi ini bisa dilihat di situs Univ of Washington (Ocean 410 : Marine Geology and Geophysics, Unit 12 : Geological Hazards in the Pacific Northwest, http://gore.ocean.washington.edu/classpages/ocean410/notes/unit12.htm). Sayangnya Danny Hilman tidak bisa menyelidiki segmen Simeulue akibat konflik berkepanjangan di NAD, sehingga bagaimana situasi segmen Simeulue tidak bisa diketahui dengan pasti.
Gempa besar 26 Desember 2004 silam terjadi akibat segmen Simeulue yang " terkunci " mengalami kompresi (thrust) oleh desakan lempeng India. Pada segmen yang " terkunci " seperti ini, tidak ada upaya apapun yang bisa dilakukan oleh manusia untuk memperlambat/mempercepat terjadinya kompresi, meski diupayakan dengan ledakan nuklir bawah permukaan sekalipun (seperti diilustrasikan Hollywood dalam film " 10.5 " nya).
Yang luar biasa, sewaktu kompresi terjadi, pada saat bersamaan lempeng India juga mulai melakukan subduksi, menelusup di bawah mikrolempeng Burma, setelah sebelumnya selama berjuta-juta tahun hanya berhadapan frontal. Yang luar biasa lagi, subduksi pada segmen Simeulue juga menyeret segmen Andaman untuk melakukan hal yang sama. Akibatnya, selain terjadi guncangan tanah yang luar biasa (dengan Mw = 9,3), durasi gempa juga berlangsung cukup lama (> 5 menit, ada pula yang menyebut hingga 15 menit). Seismologi menyebut kejadian ini sebagai gempa megathrust dan terakhir kali dialami dunia 4 dekade silam, dalam gempa Good Friday 1964 di Alaska.
Gempa besar ini menimbulkan perubahan besar di segmen Simeulue. Telah terdeteksi terjadinya extension dan subsidence secara bersamaan pada mikrolempeng Burma. Pantai utara dan barat P. Simeulue - daerah terdekat dengan hiposentrum gempa -  mengalami uplift setinggi 1 - 1,5 m dengan lebar daratan bertambah panjang hingga 1 km ke arah laut (International Tsunami Survey Team, dalam Kompas, 01/02/2005). Extension membuat pulau ini (dan juga P. Nias) menjauhi daratan Sumatra dengan pertambahan jarak 10 m (LIPI, dalam Kompas, 01/01/2005).  Data kapal riset Natsushima menunjukkan, uplift ini terjadi di seluruh sisi barat segmen Simeulue dan Andaman (yang berdekatan dengan zona subduksi), dengan kenaikan rata2 10 - 13 m. Daerah yang mengalami uplift berbentuk persegi panjang, dengan panjang 1300 km dan lebar 70 km. Akibat extension ini, terjadi pergeseran berskala besar. Di Langsa dan Tapaktuan, pergeseran yang terjadi mencapai 0,6 - 4 m, sementara di pantai timur Thailand mencapai 0,3 m. Secara keseluruhan ujung utara Sumatra itu, beserta sebagian kecil semenanjung Malaya, mengalami pergeseran rata2 sebesar 1 - 3 m ke arah barat daya. Bukan hanya itu. Posisi kutub utara geografis pun dipastikan bergeser 2,5 cm ke arah garis 135deg BT, sementara posisi tiap titik di seluruh dunia, tanpa terkecuali, telah bergeser 1 cm dari semula.
Sebaliknya, subsidence terjadi di daratan Sumatra. Subsidence di garis pantai kota Banda Aceh membuat batas air laut masuk ke daratan hingga 57 m dari semula. Sementara garis pantai pesisir barat propvinsi NAD mengalami subsidence rata2 sebesar 2 m (International Tsunami Survey Team, dalam Kompas, 23/02/2005). Subsidence dipastikan juga terjadi pada dasar lautan di utara Simeulue, atau sering pula disebut cekungan Aceh. Di dasar lautan ini juga terjadi kerusakan yang luar biasa.
Kapal riset Baruna Jaya IV (BPPT) selama pelayarannya (16/01/2005 - 04/02/2005) menemukan rusaknya struktur sedimen di perairan dangkal dekat Meulaboh. Sementara di utara, di perairan lepas pantai Calang, ditemukan adanya rupture lebar berarah timur laut - barat daya, yang terisi sedimen baru dari daratan. Survey kapal HMS Scott (Inggris) di sebelah barat Simeulue menunjukkan adanya runtuhan dasar laut selebar 5 - 15 km, persis di dekat zona subduksi (lihat Kompas, 23/02/2005). Sementara di utara, di Kep. Andaman dan Nicobar, subsidence telah memecah P. Trinket menjadi 2 bagian dan sekaligus membuat mud volcano Baratang bererupsi.
Yang menarik, selama dua bulan setelah gempa utama 26 Desember 2004, terdeteksi 18.000 gempa susulan (aftershock) dengan distribusi hiposentrum menunjukkan kecenderungan lebih banyak di segmen Andaman. Hal ini terjadi karena lempeng India bergerak ke timur laut, sementara lempeng Eurasia bergerak ke barat daya, sehingga mikrolempeng Burma yang terjepit di tengah2nya menyetabilkan diri dengan mengarahkan sisa energi gempa utama 26 Desember 2004 ke arah resultan gerakan dua lempeng besar tersebut, yakni ke barat laut, dimana  terdapat segmen Andaman.
Dengan semua data ini, teori Vialls tidak bisa diterima mengingat tidak adanya perubahan dasar laut di antara Simeulue - Nias. Bila ledakan nuklir yang dimaksud Vialls bisa memicu ketidakstabilan di triple junction - meski dari pengalaman eksperimen detonasi senjata nuklir bawah permukaan kita tahu bahwa hal itu tidak terjadi, maka logikanya, yang berperanan dalam menciptakan gempa seharusnya segmen Simeulue dan Nias. Maka seharusnya kita bisa mendapatkan data adanya subsidence atau uplift di sekitar triple junction itu, yakni di Simeulue selatan, Nias utara dan pulau2 kecil diantaranya. Namun ternyata subsidence/uplift itu tidak terjadi dari Simeulue selatan hingga ke Nias. Selain itu, dengan adanya desakan lempeng India dan Eurasia, seharusnya distribusi hiposentrum gempa2 susulannya mengarah ke barat laut dari titik triple junction, alias di segmen Simeulue. Hal ini bertentangan dengan fakta yang ada.


7. Ketinggian dan Energi Tsunami
 

Ledakan nuklir - di dasar laut - memang dikenal sebagai salah satu penyebab terjadinya tsunami, selain gempa tektonik, letusan gunung berapi, tanah longsor dan tumbukan asteroid di laut. Tsunami produk ledakan nuklir juga merupakan tsunami hasil kreasi manusia, selain tanah longsor (buatan). Ledakan nuklir di dasar laut menyebabkan terbentuknya cekungan (kawah besar),, yang memerosotkan kolom air laut di atasnya. Akibatnya pada kolom air laut tersebut terjadi olakan yang diikuti dengan arus balik ke atas dan disusul penjalaran gelombang mendatar sebagai upaya dari kolom tersebut untuk memperoleh kembali kesetimbangan permukaannya. Mengenai tsunami akibat tanah longsor (buatan), kasus menarik terjadi di Perancis selatan, pada 1983, saat terjadi pembangunan bandara dengan landasan yang menjorok ke arah laut (persis seperti landasan bandara Ngurah Rai di Bali). Rupanya getaran alat berat membuat sedimen lunak di lepas pantai rontok, dan akibatnya timbul tsunami lokal yang merusak dermaga Thebes.
Dilihat dari bentuk TGA (tsunami generating area)-nya, ledakan nuklir memiliki TGA berbentuk lingkaran, sama halnya dengan tanah longsor, letusan gunung berapi dan tumbukan asteroid. Sementara gempa bumi menghasilkan TGA berbentuk elliptik/persegi panjang, sesuai dengan bentuk patahan/rupture-nya. Eksperimen detonasi senjata nuklir di Kep. Atol Bikini, Samudra Pasifik, yang dilakukan AEC sejak pasca Perang Dunia 2 hingga pertengahan dekade 1960-an menyajikan banyak informasi mengenai sifat-sifat tsunami dengan TGA berbentuk lingkaran, khususnya tsunami produk ledakan nuklir. Tinggi tsunami (H, dalam meter) merupakan fungsi dari energi ledakan (W, dalam kiloton), kedalaman laut di titik ledakan (d, dalam meter) dan jarak horizontal dari titik ledakan (r, dalam meter), yang dinyatakan dalam bentuk :
H = 45 (d/r) W(0,25) (7)
Hubungan ini didapatkan ketika AEC meledakkan bom " Baker " pada 24 Juli 1946, yang melepaskan energi 21 kiloton (setara bom Nagasaki). Peledakan2 berikutnya mengonfirmasikan hubungan tersebut. Tsunami merupakan gelombang panjang yang menjalar dengan kecepatan tinggi, dimana tinggi gelombangnya sangat kecil bila dibandingkan dengan panjang gelombangnya. Pengamatan satelit TOPEX/Posseidon (NASA) dalam kejadian 26 Desember 2004 menunjukkan, tinggi tsunami saat itu 'hanya' 30 cm (di laut lepas), namun panjang gelombangnya melebihi 500 km.
Kedahsyatan sebuah tsunami dipengaruhi oleh besarnya energi yang diangkutnya serta bentuk garis pantai yang dihantamnya. Kita mengetahui bahwa pada pantai2 yang berteluk/bermuara sungai, tsunami menjadi lebih dahsyat karena bentuk2 pantai seperti itu membuat energi dan massa air laut terakumulasikan demikian rupa bila dibandingkan garis pantai yang datar. Menurut Yabushita (1998), tsunami dahsyat umumnya memiliki energi sekitar 2 megaton. Sementara daya jangkau tsunami bergantung pada bentuk gelombangnya, yang berarti dipengaruhi juga oleh TGA-nya. Menurut Crawford dan Mader (1998), sebuah tsunami yang berdaya jangkau sangat jauh haruslah berbentuk gelombang koheren, sehingga tidak terjadi proses dissipasi (kehilangan) energi yang substansial saat tsunami menempuh jarak yang sangat jauh. Untuk menghasilkan gelombang koheren, diameter " cekungan temporer " pada permukaan air laut di atas TGA-nya harus 3 - 5 kali lebih besar dari kedalaman laut setempat (Paine; 1999; Tsunami from Asteroid/Comet Impacts; Australian Spaceguard Survey; http://www1.tpgi.com.au/users/tps-seti/spacegd7.html). Dari rangkaian eksperimen AEC, Glasstone dan Dolan (1972) secara empirik mendapatkan hubungan antara diameter cekungan (D, dalam meter) dengan energi ledakan (W, dalam kiloton) sebagai berikut :
D = 2CW(0,33) (dl)(-0,25)  (8)
dengan d densitas media di titik ledak (dalam g/cc), l kedalaman titik ledak (dalam meter) dan C konstanta yang bergantung pada jenis media di titik ledak. Untuk dasar laut, dimana medianya berupa tanah alluvial (endapan), C = 64,33 - 76,45 dan d = 2,0 g/cc.
Mari kita uji teori Vialls. Dengan kedalaman titik ledak sekitar 5 km dan W = 9 megaton, maka menurut persamaan 8  kita mendapatkan diameter " cekungan temporer " di permukaan air laut antara 270 – 320 meter. Ini sangat kecil bila dibandingkan batas minimal menurut Crawford dan Mader, yang harus sebesar 15 km, agar berbentuk gelombang koheren. Maka bisa dikatakan bahwa tsunami teori Vialls bukanlah jenis tsunami yang mampu merambat sangat jauh.
Berdasarkan persamaan 7, ketinggian tsunami dalam berbagai jarak ditabulasikan sebagai berikut :

Tabel 1
--------------------------
r (km)  H (meter)
--------------------------
   10  220
   50      44
  100     22
  150     15
  200     11
  300      7
  500      4
1000      2
2000      1
5000      0,5
---------------------------

Tsunami dengan TGA lingkaran dikenal memiliki ketinggian awal yang cukup mencengangkan, namun dalam jarak yang lebih jauh, ketinggiannya mengalami penyusutan yang luar biasa. Carayannis (1985) melaporkan fenomena ini teramati dalam kejadian tsunami akibat letusan Gunung Krakatau (Agustus 1883) dan tsunami Teluk Lituya, sebuah teluk sepanjang 11 km dengan lebar 3 km yang terletak di Taman Nasional Glacier, Alaska (AS). Pada 8 Juli 1958, gempa tektonik (Mw = 7,9 - 8,3) mengguncang kawasan Teluk Lituya dengan durasi guncangan 1 menit. Akibatnya tebing curam Peg. Fairweather di tepi teluk rontok, menimbulkan longsoran gigantis dengan volume 30 juta km kubik (massa sekitar 45.000 trilyun ton). Sebagian besar longsoran ini diyakini berbentuk bongkahan raksasa, yang jatuh ke teluk Lituya layaknya tumbukan asteroid. Akibatnya di Gilbert Inlet - muara salah satu gletser ke teluk dan titik terdekat dengan sumber longsoran - tinggi tsunami mencapai 520 m ! Di pantai2 teluk, tinggi tsunami bervariasi antara 30 - 200 m. Namun begitu memmasuki Samudra Pasifik, tinggi tsunami < 1 m dan dengan cepat menghilang. Fenomena tsunami Teluk Lituya memunculkan istilah megatsunami, yang diperuntukkan bagi tsunami2 dengan ketinggian > 100 meter.
                           tsunami di teluk Lituya ( Good Friday earthquake, Alaska)
Di antara Nias dan Simeulue terdapat Kep. Banyak, yang posisinya sangat berdekatan dengan triple junction. Maka bila berdasar pada teori Vialls, seharusnya di kepulauan ini terjadi megatsunami, yang menenggelamkan seluruh pulau untuk beberapa lama. Sementara Simeulue selatan dan Nias utara, yang jarak kasarnya sekitar 100 km dari triple junction, seharusnya menderita tsunami dengan ketinggian 22 meter. Sibolga, Tapaktuan, dan Singkel, masing2 di pantai barat Sumatra yang jaraknya sekitar 200 km dari triple junction, seharusnya mengalami tsunami dengan ketinggian 11 meter. Pada jarak yang lebih jauh, yakni di Srilanka (> 2.000 km) dan pesisir timur Afrika ( 5.000 km), seharusnya ketinggian tsunami < 1 meter, sehingga tidak memakan korban. Ke arah utara, penjalaran tsunami dibatasi oleh daratan Sumara yang berarah tenggara - barat laut, sehingga logikanya penjalaran tsunami pun hanya mengarah ke barat laut, yakni ke pesisir Myanmar dan Bangladesh saja, tidak ke Thailand, sebagian semenanjung Malaysia dan pantai timur Sumatra.
Dalam realitanya, kita tahu bahwa tsunami 26 Desember 2004 itu menjalar ke mana2. Di pantai barat Sumatra dan pulau2 sekitarnya, terjangan tsunami mencapai ketinggian rata2 13 meter dengan variasi cukup besar, sebagai berikut :

Tabel 2
---------------------------------
daerah              H (meter)
---------------------------------
Lhoknga           34,5
Banda Aceh  20,8
Ulee Lheu  15,6
Simeulue utara  15
Simeulue selatan 3 - 4
Sibolga             3
Sirombu (Nias)  3
----------------------------------
(International Tsunami Survey Team dalam Kompas,
01/02/2005).

Sementara di tempat2 lain di sepanjang pesisir SamudraHindia, ketinggian tsunami juga cukup bervariasi :

Tabel 3
---------------------------------
daerah/negara  H (meter)
---------------------------------
Idi (Aceh timur) 3
Khao-Lak (Thailand) 11,6
Phi-phi (Thailand) 11
Malaysia  n/a
Nicobar (India)  15
Kerala (India)  n/a
Andra Pradesh (India) n/a
Tamil Nadu (India) n/a
Bangladesh  n/a
Sri Lanka          14
Myanmar          n/a
Maladewa  4
Somalia            1,3
Kenya  n/a
Tanzania  n/a
Madagaskar  1,6 - 10
Afrika selatan  2 - 3
Australia  1,6
----------------------------------
n/a : tidak ada data tentang ketinggian tsunami, namun
terjadi korban jiwa/kerusakan yang cukup signifikan.

(Carayannis; 2005; The Great Earthquake and Tsunami of 26 December 2004 in South East Asia and the Indian Ocean; Special Reports, http://www.drgeorgepc.com/ dan National Geographic Indonesia, April 2005).
Dari tabulasi ini kita tahu bahwa tsunami 26 Desember 2004 itu menjalar hingga ke jarak yang sangat jauh. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa teori Vialls tidak bisa dipertahankan, mengingat tsunami produk ledakan nuklir, dengan TGA berbentuk lingkaran, hanyalah menghasilkan kerusakan yang bersifat lokal seperti yang dimodelkan dalam tabel 1. Perbandingan antara pemodelan (tabel 1) dan fakta di lapangan (tabel 2) juga menunjukkan ketidaksinkronan, yang turut memperlemah teori Vialls, karena tsunami tertinggi justru terjadi di Lhoknga dan Banda Aceh, bukan di Simeulue selatan, Sibolga dan Sirombu (Nias). Sementara data tabel 3 menunjukkan adanya tempat2 di timur Sumatra yang terkena hantaman tsunami, satu hal yang tidak mungkin bila kita mengacu pada teori Vialls.
Carayannis (1985) telah mendeduksi persamaan untuk menghitung energi sebuah tsunami (E, dalam erg) sebagai fungsi dari luas patahan/rupture dasar laut yang terbentuk (A, dalam cm^2) dan besarnya pergeseran vertikal (h, dalam cm) dalam bentuk :

E = (dgAH2)/6 (9)

dengan d = densitas air laut (1,03 g/cc) dan g =percepatan gravitasi Bumi (981 cms^-2).
Kita tahu dalam gempa tektonik, tsunami-nya memiliki TGA berbentuk ellips/persegi panjang. Carayannis (2005) - dari analisis distribusi hiposentrum gempa2 susulan - menduga TGA itu berbentuk elliptik memanjang (seperti sosis) dengan luas 280.000 - 300.000 km^2. Namun dari data riset Natsushima, kita tahu bahwa luas TGA = 1300 x 70 = 91.000 km^2. Dengan pergeseran vertikal sebesar 10 - 13 m, kita mendapatkan besarnya energi tsunami 1,532 - 2,589 . 10^23 erg (3,66 - 6,19 megaton). Dengan energi > 2 megaton ini, kita tahu bahwa tsunami 26 Desember 2004 itu memang jenis tsunami dahsyat. Dengan daya jangkau sedemikian jauh, tsunami dahsyat ini dipastikan juga merupakan gelombang koheren. Dahsyatnya tsunami ini juga dipicu oleh terjadinya perombakan besar (berbentuk longsoran dasar laut yang gigantis) dalam  lapisan sedimen di segmen Andaman. Penyelidikan kapal Natsushima menunjukkan, lapisan sedimen yang berasal dari erosi Peg. Himalaya ini mengalami uplift dan kemudian terlongsorkan hingga kedalaman 1 km (Kompas, 26/07/2005).

8. Sedimen Tsunami


Titik lemah lain dari teori Vialls terletak pada kandungan unsur2 dalam sedimen yang diendapkan oleh tsunami (tsunamit, berdasar istilah para geolog). Kita tahu bahwa senjata nuklir berbahan dasar unsur2 berat yang bersifat radioaktif, seperti Uranium-235 diperkaya dan Plutonium-239. Dalam perancangan senjata nuklir, menurut Carey Sublette (2001, lihat dalam Nuclear Weapons FAQ), dikenal istilah efisiensi fissi, yakni perbandingan antara jumlah inti2 yang mengalami reaksi fissi dengan jumlah inti keseluruhan.
Efisiensi fissi tidak pernah mencapai 100 %. Dua bom nuklir pertama dalam sejarah, yakni " Little Boy " dan " Fat Man ", masing2 memiliki efisiensi 1,4 % dan 17 % saja. Untuk meningkatkan efisiensi fissi ini, biasanya para perancang senjata nuklir menyertakan campuran Tririum-Deuterium dalam berbagai bentuk (yang terkenal adalah Sloika/Alarm Clock karya Andrei Sakharov yang digunakan Uni Soviet dan Teller - Ulam sausage/Staged Radiation Implosion karya Edward Teller – Stanislav Ulam yang digunakan AS) untuk menjalankan reaksi fusi nuklir (yang dipicu reaksi fissi awal) guna menciptakan banjir neutron yang akan memicu reaksi fissi utama. Namun, nilai efisiensi tertinggi, yang berhasil didapatkan Afrika Selatan selama menjalankan program nuklirnya (dan kini sudah diakhiri), hanyalah 50 %. Artinya, masih ada sisa dari inti2 yang tidak mengalami reaksi dan kemudian ikut tercampur dalam produk reaksi fissi (sampah nuklir).

Produk reaksi fissi itu sendiri bermacam-macam, namun senantiasa mengandung empat isotop penting : Strontium-90 (half life = 28 tahun), Cesium-137 (half life = 30 tahun), Iodium-131 (half life = 8 hari) dan Carbon-14 (half life > 5.000 tahun). Sebuah ledakan nuklir biasanya menghasilkan isotop unsur2 berat sejumlah 5 kg, diantaranya sisa Uranium-235/Plutonium-239 dan unsur2 transuranik pemancar sinar alfa dan gamma (Plutonium-240 dan Amerisium-241). Isotop2 inilah yang (harusnya) terkandung dalam tsunamit versi teori Vialls. Logikanya, ketika bom itu diledakkan di atas triple junction, sampah nuklirnya akan terbawa ke permukaan bersamaan dengan ovreshoot, dan selanjutnya bergerak ke daratan lewat tsunami. Dengan demikian (seharusnya) tsunami yang mengandung sampah nuklir berkonsentrasi tinggi bisa ditemukan di Simeulue selatan, Nias utara dan pantai barat Sumatra (dari Sibolga hingga Tapaktuan).
Dalam menganalisis Bom Bali I, Vialls pernah berteori, dengan teknik tertentu isotop2 pemancar sinar gamma (Cesium-137, Iodium-131 dan unsur2 berat) bisa dihilangkan sehingga tinggal menyisakan isotop pemancar alfa-nya saja. Hal ini jelas bertentangan dengan konsep fisika modern, dimana sifat radioaktif dari isotop tertentu hanya bisa diubah bila berlangsung transmutasi nuklir, baik dalam bentuk peluruhan radioaktif (yang bersifat alami) maupun lewat reaksi nuklir (yang bersifat buatan). Maka untuk menghilangkan beberapa isotop itu, harus dilakukan reaksi nuklir tambahan (dengan proyektil proton berenergi tinggi) yang beroperasi bersamaan dengan reaksi fissi itu sendiri. Hal itu jelas tidak mungkin, mengingat untuk memproduksi proton berenergi tinggi membutuhkan perangkat akselerator khusus berukuran besar (siklotron maupun cosmotron). Sementara ledakan nuklir jelas akan menghancurkan akselerator tersebut.
Stronsium-90 secara kimiawi mampu menyubstitusi Kalsium sehingga akan didepositkan dalam tulang dan menyebabkan kanker tulang. Sifat kimiawi Cesium-137 sangat mirip dengan Kalium, sehingga bisa masuk ke dalam darah dan menyebabkan leukemia. Adapun Iodium-131, secara kimiawi terendapkan di dalam kelenjar tiroid dan sangat merusak, karena waktu paruhnya yang sangat pendek (sehingga aktivitas radiasinya luar biasa besarnya dibanding produk2 fissi lainnya), memicu kanker tiroid. Sedangkan Carbon-14, bisa tertransfer ke dalam inti sel dan menjadi bagian dari material genetik (DNA maupun RNA) yang bisa memicu mutasi (genetik maupun somatis), meski pengalaman di Hiroshima dan Nagasaki menunjukkan hanya mutasi somatis saja yang terjadi. Sementara unsur2 berat umumnya terdepositkan dalam paru2 dan mampu menyebabkan kanker paru2.
            Realitanya, tsunami di pantai barat Sumatra tidak mengandung isotop2 khas sampah nuklir, namun justru mengandung unsur Belerang yang berlebih (Syamsul Rizal, dalam Kompas 17/03/2005). Terbentuknya rupture hingga ke segmen Andaman membuat segmen ini turut mengalami extension dan subsidence/uplift. Proses ini diyakini menghasilkan retakan2/patahan2 kecil di dasar laut sekitar Kep. Andaman/Nicobar, yang merobek deposit2 Belerang di dalamnya hingga bersentuhan dengan lingkungan perairan. Keberadaan deposit2 Belerang ini sangat memungkinkan, karena Kep Andaman/Nicobar merupakan kepulauan vulkanis, dengan sejumlah kerucut gunung berapi, baik yang masih aktif (Gunung Barren, Gunung Baratang) maupun yang sudah padam. Beberapa diantara gunung berapi itu ada di bawah permukaan laut. Busur vulkanis ini berakhir di ujung utara Sumatra, tepatnya di P. Weh (Carayannis; 2005; The Great Earthquake and Tsunami of 28 March 2005 in Sumatra, Indonesia; A Special Report; http://www/drgeorgepc.com).
Melimpahnya unsur Belerang juga menjadi jawaban mengapa sejumlah jenazah korban tsunami tampak menghitam, seperti hangus. Proses pembentukan rupture (demikian juga retakan2 dan patahan2 kecil yang menyertainya) selalu diikuti dengan terjadinya pelelehan batuan setempat akibat suhu tinggi menyusul besarnya gesekan. Batuan yang meleleh ini – baik batuan beku maupun sedimen - kemudian membeku kembali dan berubah wujud menjadi batuan malihan (metamorf) lewat proses milonitisasi. Suhu tinggi itu juga membuat sebagian Belerang dalam depositnya terpanaskan dan akibatnya terjadi reaksi kimiawi dengan atom2 Oksigen, sehingga terbentuklah Sulfur Dioksida (SO2) dan Sulfur Trioksida (SO3). Ketika bersentuhan dengan air laut, Sulfur Dioksida dan Sulfur Trioksida langsung bereaksi menghasilkan Asam Sulfit (asam lemah) dan Asam Sulfat (asam kuat). Persentuhan Asam Sulfat dengan jaringan kulit manusia membuat kulit rusak dan nampak hangus.
Kondisi seperti ini, dalam skala yang lebih kecil dan konteks bencana yang berbeda, pernah terjadi pada Februari 1979 saat Kawah Sinila (Dieng, Banjarnegara) meletus dan merobek deposit solfatara (sumber gas Belerang) di dalamnya. Akibatnya gas Belerang terpanaskan dan segera bercampur dengan uap air panas di sekitarnya, menghasilkan " Awan Asam Sulfat " yang bergerak ke desa Sinila, Simbar dan Kepucukan didekatnya, hingga menewaskan 140 orang dengan tubuh hangus.
Jadi, jenazah2 yang tampak hitam itu bukan disebabkan oleh radiasi panas produk ledakan bom, seperti halnya korban2 di Nagasaki dan Hiroshima 6 dekade silam. Lagipula, dari serangkaian eksperimen AEC di Kep. Atol Bikini, diketahui bahwa dalam ledakan nuklir di bawah permukaan laut, radiasi panas yang terbentuk – dibawa oleh foton2 sinar inframerah - tidak mampu menembus kolom air laut di sekitarnya. Karena foton inframerah memang memiliki karakteristik untuk diserap oleh molekul2 air.

9. Perbandingan dengan Gempa Besar 28 Maret 2005


Hanya berselang 3 bulan setelah gempa besar 26 Desember 2004, terjadi gempa besar yang mengguncang P. Nias dan sekitarnya, pada 28 Maret 2005 pukul 23:10 WIB. BMG menyebut gempa ini memiliki Mw = 8,7 sementara menurut USGS dan Pacific Tsunami Warning Center Mw = 8,2. Hiposentrum gempa terletak di dasar Kep. Banyak, berdekatan dengan titik triple junction, dan hanya berjarak 160 km dari hiposentrum gempa besar 26 Desember 2004.
Dari analisis distribusi hiposentrum gempa2 susulannya, Danny Hilman (2005) menyimpulkan gempa ini dipicu oleh terbentuknya patahan/rupture sepanjang 400 km dengan lebar 200 km dan pergeseran (slip) maksimal sebesar 6 meter. Dengan menggunakan persamaan 4 dan 5, untuk Mw = 8,7 kita mendapatkan besarnya energi gempa 54 - 324 megaton. Dengan energi sebesar ini, cukup mengherankan bahwa gempa besar tersebut tidak menimbulkan tsunami sedahsyat tsunami 26 Desember 2004. Padahal secara teoritis, untuk kedalaman hiposentrum 32 km, gempa dengan Mw > 6,8 sudah cukup untuk menghasilkan tsunami yang merusak. Keanehan ini juga yang menjadi salah satu argumen teori Vialls.
Tsunami yang diproduksi gempa 28 Maret 2005 ini kecil. Stasiun pasang surut di P. Cocos, sebelah barat Australia, mencatat ketinggian tsunami 28 Maret 2005 di laut lepas sebesar 25 cm. Berbeda dengan tsunami 26 Desember 2004 yang mencapai 33 cm.
Carayannis (2005) menjawab persoalan timbulnya gempa besar 28 Maret 2005 ini dan ketiadaan tsunami merusak dengan menggunakan pendekatan yang sama seperti saat membahas gempa dan tsunami 26 Desember 2005, yang berbasis pada hasil penyelidikan Danny Hilam dan Kerry Sieh. Munculnya subduksi lempeng India terhadap mikrolempeng Burma dalam segmen Simeulue, dimana lempeng India bergerak ke timur laut dan segmen Simeulue sendiri mengalami pergeseran besar (20 m) ke arah barat laut menimbulkan tekanan tektonis yang sangat besar terhadap segmen Nias. Segmen Nias sendiri, yang bertumbukan dengan lempeng Australia, terakhir kali mengalami gempa besar hampir 1,5 abad silam (pada 1861 dengan Mw = 8,5), sehingga sangat berpotensi untuk meletupkan gempa besar lagi mengingat pada seluruh segmen di barat Sumatra, periode pengulangan gempa2 besar (rata2) sekitar 200 tahun. Tambahan tekanan akibat pergeseran segmen Simeulue disebelah utara nampaknya membuat periode pengulangan gempa besar di segmen Nias menjadi lebih pendek.
Namun mekanisme tektonis yang bekerja di segmen Nias sangat berbeda dibandingkan yang terjadi di segmen Simeulue. Pada segmen Simeulue, mekanismenya sangat didominasi kompresi ultrabesar (megathrust) dengan komponen minor berupa pergeseran horizontal (strike-slip) ke arah barat laut, maka pada segmen Nias mekanisme dominannya berupa pergeseran horizontal, juga ke arah barat laut. Dalam segmen Nias juga terjadi kompresi (thrust) dengan segala gejalanya, seperti extension dan uplift/subsidence. Subsidence terjadi di pantai barat dan barat laut P. Nias, sementara uplift mengangkat pantai timur dan tenggara P. Nias hingga ketinggian 2 meter dari semula. Memang menakjubkan bahwa uplift terjadi di sisi timur zona patahan/rupture segmen Nias, sehingga otomatis tsunami yang terbentuk akan didisipasikan menuju barat daya, ke tengah Samudra Hindia, seperti yang disimulasikan Pacific Tsunami Warnig Genter, Hawaii (Carayannis; 2005; The Great Earthquake and Tsunami of 28 March 2005 in Sumatra, Indonesia; A Special Report; http://www/drgeorgepc.com). Hal ini juga menunjukkan situasi yang sangat berbeda dibandingkan dengan gempa 1883, yang menghasilkan tsunami sedahsyat tsunami 26 Desember 2004 silam.
Kecilnya tsunami dalam gempa besar 28 Maret 2005 juga ditopang oleh tipisnya lapisan sedimen dasar laut di segmen Nias. Dengan mekanisme tektonis dominan berupa pergeseran horizontal, sedimen yang tipis ini relatif tidak mengalami kerusakan berat dalam bentuk longsoran gigantis. Situasi yang sangat berbeda terjadi di segmen Simeulue dan Andaman, dimana gempa yang didominasi kompresi ultrakuat (megathrust) mengenai lapisan sedimen tebal dan diikuti longsoran dasar laut gigantis sehingga terbitlah tsunami dahsyat itu.
Survey kapal riset Natsushima mendukung kesimpulan Carayannis. Tidak ditemukan patahan dasar laut yang baru, sama seperti kondisi di segmen Simeulue (lihat Kompas, 26/07/2005). Topografi dasar laut juga relatif utuh, dengan beberapa longsoran kecil di sana-sini. Sisi barat rupture ini berada di zona subduksi, sementara sisi timur dibatasi oleh patahan Mentawai. Rupture ini sama persis dengan rupture yang terbentuk pada gempa besar 1861, hanya saja lebih pendek. Hal ini memunculkan dugaan bahwa kompresi dan pergeseran horizontal yang terjadi di rupture baru ini belum mencapai kondisi maksimumnya, yang mengindikasikan kemungkinan belum terlepasnya semua tekanan tektonis dalam segmen Nias. Artinya, ada kemungkinan segmen ini akan kembali meletup untuk melepaskan semua sisa tekanan tektonis yang dikandungnya dalam gempa besar berikutnya. 
 

10. Epilog

Dengan semua uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa gempa besar dan tsunami dahsyat 26 Desember 2004 bukanlah berasal atau dipicu oleh ledakan nuklir dasar laut, namun memang dihasilkan oleh aktivitas tektonik yang luar biasa. Dengan demikian, teori konspirasi Vialls tidak bisa dibuktikan.
Harus diakui, teori Vialls sungguh menggelitik. Saya pribadi membayangkannya seperti apa yang ada dalam " Under Siege 2 ", yang dibintangi aktor bertampang dingin Steven Seagal. Dimana diceritakans ekelompok teroris berteknologi tinggi berhasil membajak satelit " Grazer 1 " milik Pentagon, satelit yang berkemampuan meletupkan gempa di suatu kawasan yang dikehendaki dengan metode subterranean.


Namun jika kita keluar sejenak dari dunia fiksi ini, nampak bahwa metode pembangkitan gempa lewat satelit sama sekali tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Demikian pula dengan pembangkitan gempa besar 26 Desember 2004 lewat ledakan nuklir dasar laut sebagai pemicu.
Yang justru harus kita pikirkan, gempa besar 26 Desember 2004 menyadarkan kita bahwa kepulauan Nusantara tempat Indonesia berdiri ini secara geologis memang tergolong sangat rapuh, mengingat tiga lempeng tektonik utama di Bumi bertemu di sini. Danny Hilman dan mentornya Kerry Sieh telah memberikan sumbangan signifikan dalam memahami siklus gempa2 besar di Indonesia, namun mereka baru menyelidiki zona subduksi Sumatra saja. Masih ada zona subduksi Jawa dan zona2 subduksi yang lebih kompleks seperti Nusa Tenggara, Sulawesi Utara, Kep. Maluku dan Irian utara yang sama sekali belum diselidiki, padahal potensi bahaya gempa besar yang dikandungnya sama saja dengan potensi zona subduksi Sumatra.